Sabtu, 16 Januari 2010
UNGKAPAN HATI
TABIR CINTA ZAHRANA
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan
iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari
dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan
orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya
sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang
terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia
mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut
teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia
dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang.
Satu
13
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan
penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan
dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh
keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan
seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang
kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa
sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir
sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan
sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa
tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa
tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian
mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu
mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh
Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe
lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi
pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya
banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga
punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali
bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si
Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa
ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah
pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya
Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang
lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan
seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa
sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga
cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.
Ia meneteskan airmata.
Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia
tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak
lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi
tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang
kini banyak datang dan membuatnya menderita batin
yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah
hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata
prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari
pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga
bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin
menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang
yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak
14 15
terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri
menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo
agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I.
Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
KETIKA CINTA BERTASBIH 2
Saya pertamakali berkeinginan membaca novel ini saat membaca di sebuah blog teman baik saya. Dengan sub judul yang sangat provokatif sekali (novel pembangun jiwa, benarkah ?) akhirnya saya penasaran, apakah dengan membaca novel tersebut jiwa saya bisa bangun. kalau bisa apa yang bisa dibangun. benarkah jiwa saya bisa bangun atau mendapati diri dalam ilusi tak bertepi.
Sejujurnya saya sendiri jarang membaca novel. selain karena budaya membaca buku berubah menjadi budaya berinternet selama di kampus, saya tidak bisa mendapatkan sesuatu yang menarik dari novel yang berkisah tentang kehidupan manusia biasa. Saya lebih suka meracuni pikiran saya dengan kisah2 ilusif yang diberikan oleh novel-novel semacam lord of the ring, harry potter, atau novel2 saintifik seperti mimpi-mimpi einstein atau supernova. Selain itu karena novel ini ‘tampaknya’ berbau agama .. well.. saya sudah membayangkan bahwa akan banyak sekali tulisan-tulisan menggurui didalamnya dan sedikit kopas (kopi dan paste) ayat2 Al Quran / hadis. Namun ternyata prasangka saya tidak salah .. namun juga tidak benar sepenuhnya..
Novel bercerita tentang mahasiswa indonesia di negara mesir ini memberikan nilai-nilai tentang religiusitas.Sang penulis juga menggambarkan sang tokoh tetap sebagai tokoh yang memegang teguh nilai2 religius. Namun sang penulis bisa mengemasnya dengan baik dan masih bisa menghadirkannya dalam kapasitas sang tokoh sebagai manusia biasa. Perasaan dan konflik sang tokoh dilukiskan dengan baik dan jelas sehingga seolah2 kita sendiri yang mengalaminya. Dalam hal ini fragmen yang cukup menarik adalah fragmen pada bab 18 -20 dan mencapai puncaknya pada bab 27-29. Fadhil salah satu tokoh dimintai saran oleh wanita yang sangat dicintainya, Tiara yang juga mencintai fadhil, sebuah saran tentang lamaran seorang ustadz yang pernah menjadi kawan fadhil semasa masih di indonesia. “Sayangnya” fadhil menyarankan untuk menerimanya dan “sayangnya” tiara juga mengikuti sarannya. Ironisnya, fadhillah yang bertanggungjawab menjadi panitia atas pernikah tersebut. keduanya pun sama-sama pada akhirnya bisa menghadapi kenyataan itu walaupun dengan hati yang sangat terluka. Well dalam hal ini kang abik, sang penulis benar2 menggambarkan perasaan keduanya secara detail, 3 bab lebih!!, seolah2 kita melihat/merasakan sendiri.. dan saya tidak menyangka akan menemui fragmen seperti ini dalam novel ini.
Selain itu ada juga fragmen2 tentang bagaimana kita seharusnya bersikap jika ingin menjadi enterprenur. Mungkin karena sang penulis juga memiliki sebuah pesantren enterprenur sehingga menjadikan novel ini sebagai media menyebarkan ajaran pesantrennya. fragmen tersebut antara lain sikap sang tokoh utama, Azzam, yang tegas jika menyangkut masalah harga barang yang dijualnya, well . sebagian besar orang indonesia , apalagi yang tidak dibesarkan dalam nuansa enterpreneur memang sering malu2 kucing jika berkaitan masalah harga dan kadang kurang percaya pada kualitas harga barang yang dijualnya sehingga mudah dijatuhkan.
Fragmen lain yang cukup menarik adalah pada halaman 341. saat ada dialog antara anna dan cut mala tentang masalah fiqh “mengutamakan orang lain dalam mendekatkan diri kepada Allah/beribadah maka hukumnya adalah makruh”. Pada awalnya penulis hanya menyajikan contoh2 yang bersifat ritus. Seperti semisal jika punya mukena satu , maka jangan dipinjamkan pada orang lain dulu, namun kita pakai terelebih dahulu. Penulis secara piawai memperlebar pemahaman terhadap masalah duniawi dengan menghadirkan dialog, saat ada pemuda yang baik agama dan akhlaknya dan melamar dirinya, pakah boleh ia mengalah dan mendahulukan saudari yang lain yang dirasa lebih pantas?. bukankah menikah ibadah juga?. Membaca fragmen ini, mendadak pikiran saya usil untuk memperlebar lagi pemahaman bahwa untuk masalah bekerja dan mencari nafkah serta berprestasi, selama dilakukan atas dasar ibadah kita makruh mendahulukan orang lain.. kita harus egois … dan itu diatur dalam masalah fikh yang seringkali mengajarkan sunnah bahkan kalo perlu wajib mengutamakan orang lain (seolah2) tanpa kecuali. Saya jadi teringat pernyataan seorang pengajar enterprenur waktu masih mahasiswa .. menjadi businessman itu memang egois tapi impactnya sangat sosial.. akan banyak sekali lapangan pekerjaan terbuka..