(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan
iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari
dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan
orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya
sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang
terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia
mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut
teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia
dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang.
Satu
13
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan
penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan
dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh
keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan
seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang
kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa
sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir
sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan
sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa
tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa
tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian
mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu
mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh
Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe
lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi
pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya
banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga
punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali
bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si
Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa
ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah
pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya
Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang
lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan
seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa
sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga
cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.
Ia meneteskan airmata.
Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia
tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak
lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi
tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang
kini banyak datang dan membuatnya menderita batin
yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah
hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata
prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari
pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga
bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin
menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang
yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak
14 15
terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri
menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo
agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I.
Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar